23 Mei 2008

DKV : Berkomunikasi Lewat Tanda Visual

eberadaan desain komunikasi visual sangat lekat dengan hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Ia tak bisa lepas dari sejarah manusia. Karena ia merupakan salah satu usaha manusia untuk meningkatkan kualitas hidup.

Desain komunikasi visual sangat akrab dengan kehidupan manusia. Ia merupakan representasi sosial budaya masyarakat, dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada waktu tertentu. Ia merupakan kebudayaan yang benar-benar dihayati, bukan kebudayaan dalam arti sekumpulan sisa bentuk, warna, dan gerak masa lalu yang kini dikagumi sebagai benda asing terlepas dari diri manusia yang mengamatinya.

Menurut Widagdo (1993:31) desain komunikasi visual dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas. Dilandasi pengetahuan, bersifat rasional, dan pragmatis. Jagat desain komunikasi visual senantiasa dinamis, penuh gerak, dan perubahan. Hal itu karena peradaban dan ilmu pengetahuan modern memungkinkan lahirnya industrialisasi. Sebagai produk kebudayaan yang terkait dengan sistem sosial dan ekonomi, desain komunikasi visual juga berhadapan pada konsekuensi sebagai produk massal dan konsumsi massa.

Terkait dengan itu, T. Sutanto (2005:15-16) menyatakan, desain komunikasi visual senantiasa berhubungan dengan penampilan rupa yang dapat dicerap orang banyak dengan pikiran maupun perasaannya. Rupa yang mengandung pengertian atau makna, karakter serta suasana, yang mampu dipahami (diraba dan dirasakan) oleh khalayak umum atau terbatas. Dalam pandangan Sanyoto (2006:8) desain komunikasi visual memiliki pengertian secara menyeluruh, yaitu rancangan sarana komunikasi yang bersifat kasat mata.

Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam berbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis terdiri dari gambar (ilustrasi), huruf, warna, komposisi dan layout. Semuanya itu dilakukan guna menyampaikan pesan secara visual, audio, dan audio visual kepada target sasaran yang dituju. Desain komunikasi visual sebagai salah satu bagian dari seni terap yang mempelajari tentang perencanaan dan perancangan berbagai bentuk informasi komunikasi visual. Perjalanan kreatifnya diawali dari menemukenali permasalahan komunikasi visual, mencari data verbal dan visual, menyusun konsep kreatif yang berlandaskan pada karakteristik target sasaran, sampai dengan penentuan visualisasi final desain untuk mendukung tercapainya sebuah komunikasi verbal-visual yang fungsional, persuasif, artistik, estetis, dan komunikatif.

Artinya, menurut Sumbo Tinarbuko, desain komunikasi visual dapat dipahami sebagai salah satu upaya pemecahan masalah (komunikasi, atau komunikasi visual) untuk menghasilkan suatu desain yang paling baru di antara desain yang baru (Tinarbuko, 1998:66)

Istilah desain komunikasi visual, dalam bahasa gaul anak muda disebut dekave, digunakan untuk memperbaharui atau memperluas jangkauan cakupan ilmu dan wilayah kerja kreatif desain grafis. Di dalam ranah desain komunikasi visual ini dipelajari semua bentuk komunikasi yang bersifat komunikasi visual seperti desain grafis, desain iklan, desain multimedia interaktif.

Berkomunikasi Lewat Tanda (Visual) 1

Desain Grafis

Desain grafis dipelajari dalam konteks tataletak dan komposisi, bukan seni grafis murni. Area kerja kreatif desain grafis di antaranya: stationary kit atau sales kit: desain kartu nama, kop surat, amplop, map, bolpoint. Profil usaha, annual report, corporate identity yang terdiri logo dan trade mark berikut aplikasi penerapannya. Desain grafis lingkungan berupa sign system: papan petunjuk arah, papan nama dan infografis: chart, diagram, statistik, denah, dan peta lokasi. Desain grafis industri, sistem informasi pada jasa dan produk industri. Desain label, etiket, dan kemasan produk. Desain beragam produk percetakan dari mulai prepress sampai hasil cetakan akhir. Perencanaan dan perancangan pameran produk dan jasa industri. Grafis arsitektur berikut produk sign system. Desain perwajahan buku, koran, tabloid, majalah, dan jurnal. Desain sampul kaset, dan cover CD. Desain kalender, desain grafis pada kaos oblong, desain kartu pos, perangko, dan mata uang. Desain stiker, pin, cocard, id card, desain undangan, desain tiket dan karcis, desain sertifikat, dan ijasah. Desain huruf dan tipografi. Ilustrasi dan komik.

Desain Iklan

Desain iklan dipelajari dalam konteks desain, bukan komunikasi marketing dan penciptaan merek atau aktivitas branding. Desain iklan atau popular dengan sebutan advertising, ranah kreatifnya meliputi: kampanye iklan komersial dan perancangan iklan layanan masyarakat. Aplikasi perancangan dan perencanaan desain iklan komersial maupun iklan layanan masyarakat (nonkomersial) senantiasa melibatkan seluruh media periklanan yang meliputi: pertama, media iklan lini atas (above the line advertising), yakni: jenis-jenis iklan yang disosialisasikan menggunakan sarana media massa komunikasi audio visual. Misalnya surat kabar, majalah, tabloid, iklan radio, televisi, bioskop, internet, telepon seluler. Pada umumnya, biro iklan yang bersangkutan mendapat komisi karena pemasangan iklan tersebut, Kedua, media iklan lini bawah (below the line advertising), yaitu kegiatan periklanan yang disosialisasikan tidak menggunakan media massa cetak dan elektronik. Media yang digunakan berkisar pada printed ad: poster, brosur, leaflet, folder, flyer, katalog, dan merchandising: payung, mug, kaos, topi, dompet, pin, tas, kalender, buku agenda, bolpoint, gantungan kunci. Ketiga, new media: ambient media, guerillas advertising, theatrical advertising, adman.

Desain Multimedia Interaktif

Desain multimedia interaktif dipelajari dalam konteks tampilan dan pelengkap desain, bukan interaksi manusia dengan komputer. Animasi dipelajari dalam konteks penciptaan gerak yang menarik, bukan untuk bertutur dan bercerita. Cakupan wilayah kreatif desain multimedia interaktif diantaranya meliputi: animasi 3D, dan motion graphic, fotografi, sinetron, audio visual, program acara televisi, bumper out dan bumper in acara televisi, film dokumenter, film layar lebar, video klip, web desain, dan CD interaktif.

Dengan demikian, sejatinya konsentrasi utama desain komunikasi visual adalah desain grafis plus. Penampilan sehari-hari desain komunikasi visual hanya terdiri dari dua unsur utama: verbal (tulisan) dan visual (gambar tangan, fotografi, atau image olahan komputer grafis). Dalam konteks ini, menurut Andi S Boediman, penekanannya pada segi visual. Tetapi dalam perkembangannya agar desain grafis terlindung dalam bentangan payung desain komunikasi visual maka perlu dilengkapi dan ditunjang oleh beberapa bidang ilmu sosial yang bersifat wacana maupun praksis yang dirasakan cukup signifikan (Boediman, 2004).

Pencetus Ide Baru

Desain komunikasi visual, yang dalam bentuk kehadirannya seringkali perlu ditunjang dengan suara, menurut A.D. Pirous (1989), pada hakikatnya adalah suatu bahasa. Tugas utamanya adalah membawakan pesan dari seseorang, lembaga, atau kelompok masyarakat tertentu kepada orang lain. Sebagai bahasa, maka efektivitas penyampaian pesan tersebut menjadi pemikiran utama seorang desainer komunikasi visual. Untuk itu, seorang desainer haruslah, pertama, memahami betul seluk beluk bentuk pesan yang ingin disampaikan.

Dengan memahami bentuk pesan yang ingin disampaikan, maka seorang desainer akan dengan mudah ‘’mengendalikan’’ target sasaran untuk masuk ke dalam jejaring komunikasi visual yang ditawarkan oleh sang komunikator (desainer komunikasi visual). Sebab sejatinya, karya desain komunikasi visual mengandung dua bentuk pesan sekaligus, yaitu pesan verbal dan pesan visual. Tetapi dalam konteks desain komunikasi visual, bahasa visual mempunyai kesempatan untuk merobek konsentrasi target sasaran, karena pesannya lebih cepat dan sangat mudah dipahami oleh parapihak.

Kedua, mengetahui kemampuan menafsir serta kecenderungan kondisi fisik maupun psikis kelompok masyarakat yang menjadi sasaran.

Ketiga, harus dapat memilih jenis bahasa dan gaya bahasa yang serasi dengan pesan yang dibawakannya. Selain itu juga tepat untuk dibicarakan secara efektif, jelas, mudah, dan mengesankan bagi si penerima pesan.

Desain komunikasi visual, sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia di bidang informasi visual melalui simbol-simbol kasat mata, dewasa ini pengalami perkembangan sangat pesat. Hampir di segala sektor kegiatan manusia, simbol-simbol visual hadir dalam bentuk gambar, sistem tanda sampai display di berbagai pusat perbelanjaan dengan segala aneka daya tariknya.

Berkomunikasi Lewat Tanda (Visual) 2

Gambar merupakan salah satu wujud simbol atau bahasa visual yang di dalamnya terkandung struktur rupa seperti garis, warna dan komposisi. Ia dikelompokkan dalam kategori bahasa komunikasi nonverbal, dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan atau pun ucapan. Di dalam rancang grafis, yang kemudian berkembang menjadi desain komunikasi visual, banyak memanfaatkan daya dukung gambar sebagai simbol visual pesan guna mengefektifkan komunikasi. Upaya mendayagunakan simbol-simbol visual berangkat dari kenyataan bahwa bahasa visual memiliki karakteristik yang bersifat khas, bahkan istimewa, untuk menimbulkan efek tertentu pada pengamatnya. Hal demikian ada kalanya sulit dicapai bila diungkapkan dengan bahasa verbal.

Ditambahkan Umar Hadi (1998), bahwa sebagai bahasa, desain komunikasi visual adalah ungkapan ide dan pesan dari perancang kepada masyarakat yang dituju melalui simbol-simbol berwujud gambar, warna dan tulisan. Ia akan komunikatif apabila bahasa yang disampaikan itu dapat dimengerti oleh khalayak sasarannya. Ia juga akan berkesan apabila dalam penyajiannya tersebut terdapat suatu keunikan sehingga ia tampil secara istimewa, mudah dibedakan dengan lainnya. Maka, di dalam berkomunikasi, diperlukan sejumlah pengetahuan yang memadai seputar siapa target sasaran yang akan dituju, dan bagaimana cara sebaik-baiknya berkomunikasi dengan mereka. Semakin baik dan lengkap pemahaman kita terhadap hal-hal tersebut, maka akan semakin mudah untuk menciptakan bahasa visual yang komunikatif.

Desain modern merupakan keseluruhan proses pemikiran yang akan membentuk sesuatu, dengan menggabungkan fakta, konstruksi, fungsi, dan estetika. Desain adalah suatu konsep untuk memecahkan fenomena bentuk, bahan, teknik, rupa, pemakaian dan fungsi guna yang dinyatakan dalam bentuk dan gambar. Semuanya itu diabdikan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Dalam percepatan jagad yang kiat pesat dan akselerasi dunia komunikasi yang semakin dahsyat, mengakibatkan peran dan posisi desain komunikasi visual berikut desainernya mampu menempati singasana terhormat.

Dewasa ini, desain komunikasi visual merupakan suatu karya seni terap yang padat teknologi, mempunyai dampak sangat komprehensif kepada masyarakat sebagai khalayak sasaran. Mengapa? Karena keberadaannya mampu menginformasikan jasa dan produk baru kepada audience. Ia mempunyai kharisma kepada konsumen untuk diajak membeli dan menggunakan barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Ia juga piawai merangsang khalayak untuk berpikir perihal sesuatu yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya. Dengan demikian, ketika kita mengenal dan menggeluti desain komunikasi visual, maka kita seolah-olah menjadi malaikat pewarta kabar gembira kepada segenap manusia dalam bentuk komunikasi visual yang mencakup segala bidang kehidupan manusia, baik dengan target komersial maupun tujuan sosial.

Dalam hal bentuk atau visualisasinya, desain komunikasi visual berhadapan dengan sejumlah alat, teknik, bahan dan ketrampilan. Ungkapan yang baik, akan lebih bernilai apabila didukung dengan teknik yang baik, dan ditunjang kepiawaian dalam mewujudkannya. Seperangkat alat yang dimanfaatkan oleh desain komunikasi visual, antara lain adalah aspek visual yang meliputi bentuk ilustrasi, layout, warna serta aspek verbal yang terdiri dari teks dan tipografi (Jewler, dan Drewniany, 2001: 57).

Mitos desain komunikasi visual dan orang yang menggeluti profesi itu tidak semata-mata hanya seseorang yang jagoan ‘menyetir’ komputer grafis dengan segala program-programnya dan piawai membuat berbagai ilustrasi menggunakan rapido, pensil warna, cat poster, dan airbrush. Tetapi yang lebih hakiki, ia seorang perancang, pencetus, dan penemu ide pertama.

Agar mempunyai semangat sebagai seorang perancang yang selalu mencetuskan, menemukan ide-ide brilian dan selalu tampil dengan nuansa kebaruan (novelties), maka konsep pendidikan tinggi desain komunikasi visual harus senantiasa mengedepankan aktivitas proses belajar mengajar yang berfondasikan pada unsur kreativitas dan inovasi. Artinya, sebuah proses mental, tahapan berpikir yang mampu memunculkan ide-ide baru dan bila diaplikasikan secara praktis akan menghasilkan cara-cara yang lebih efisien.

Orang-orang kreatif dan inovatif biasanya berpikir secara konvergen dan divergen. Perkawinan dari dua konsep pemikiran tersebut akan menghasilkan berbagai fantasi dan imajinasi dahsyat, yang keberadaannya sangat berguna untuk melahirkan berbagai macam ide pada karya desain komunikasi visual yang bermutu, menarik, unik, komunikatif, dan persuasif.

Parameter keberhasilan sebuah proses kreatif dan inovatif di lingkungan pendidikan tinggi desain komunikasi visual bisa terlihat manakala para peserta didik mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap pemecahan masalah komunikasi (verbal dan visual), lancar dan orisinal dalam berpikir kreatif, fleksibel, dan konseptual, cepat mendefinisikan dan mengelaborasi berbagai macam persoalan yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat disegala bidang.

Ketika proses kreatif dan inovatif itu sudah menancap di benak peserta didik sebagai sebuah ideologi, maka keberadaannya diharapkan bisa menjadi agen perubahan dan pioner pembaruan dalam mencetuskan dan menghasilkan berbagai macam ide yang dituangkan pada karya desain grafis yang kampiun.

Selain itu, profesi desainer komunikasi visual menjadi bagian dari mata rantai sebuah penelitian sosial. Desainer komunikasi visual, sebelum berkarya haruslah melakukan berbagai kajian dengan pendekatan lintas ilmu. Penggembaraan kreatifnya diawali dari menemukenali permasalahan komunikasi visual, mencari data verbal dan visual, menyusun konsep kreatif yang berlandaskan pada karakteristik target sasaran, sampai dengan penentuan visualisasi final desain untuk mendukung tercapainya sebuah komunikasi verbal-visual yang fungsional, persuasif, artistik, estetis, dan komunikatif. Hal itu dilakukan untuk lebih memfokuskan lubang bidik karya desain komunikasi visual.

Daftar Pustaka

Hadi, Umar. 1998. ‘’Memahami Desain Grafis’’. Katalog Pameran Desain Grafis, LPK Visi Yogyakarta.

Jewler, A. Jerome., dan Drewniany Bonnie, L. 2001. Creative Strategy in Advertising. USA: Wadsworth Thomson Learning, 10 Davis Drive Belmont.

Pirous, AD. 1989. ‘’Desain Grafis pada Kemasan’’. Makalah Simposium Desain Grafis, FSRD ISI Yogyakarta.

Sanyoto, Sadjiman Ebdi. 2006. Metode Perancangan Komunikasi Visual Periklanan. Yogyakarta: Dimensi Press.

Sumaryono, E. 1995. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sutanto, T. 2005. ‘’Sekitar Dunia Desain Grafis/Komunikasi Visual’’. Pura-pura Jurnal DKV ITB Bandung. 2/Juli. 15-16.

Tinarbuko, Sumbo. 1998. ‘’Memahami Tanda, Kode, dan Makna Iklan Layanan Masyarakat’’. Tesis. Bandung: ITB

Widagdo. 1993. ‘’Desain, Teori, dan Praktek’’. Seni Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. BP ISI Yogyakarta III/03.

Sumber: Sumbo Tinarbuko-Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

AddThis Social Bookmark Button




Tahukah Perbedaannya?

17 09 2007

Arial, Tahoma, HelveticaHelvetica (yang ditunjukkan dengan warna coklat) telah dikembangkan oleh Max Miedinger untuk The Haas Type Foundry pada tahun 1957 dan pada awal 1960-an menjadi bagian dari para pemakai huruf standar. Arial (yang ditunjukkan dengan warna biru) muncul ketika desktop computers telah dikembangkan oleh para perancang Microsoft pada tahun 1982.

Apakah yang membuat salah satu dari font ini lebih menarik dan lebih legible dibanding yang lain? Dengan berbagai alasan, jawaban dari para desainer hampir dapat dipastikan, font mana yang mereka pilih (karena hampir selalu berpihak pada Helvetica), walaupun Arial kini sudah menjadi sebuah sistem font yang lazim digunakan sebagai default font untuk web pages.

Barangkali ada baiknya kita memiliki pembanding pilihan yaitu Tahoma (yang ditunjukkan dengan warna violet) yang dirancang oleh Matthew Carter untuk Microsoft pada tahun 1996. Tahoma mempunyai x-height yang lebih besar, lebih membatasi bentuk dan teks sebuah kalimat, lebih ketat dalam pengaturan jarak, tampilan Tahoma menjadi daya tarik tersendiri jika menjadi sebuah Font Screen.

Silahkan perhatikan bagaimana Helvetica VS Arial.


AddThis Social Bookmark Button




Kesan Pertama Sampul Buku

11 09 2007

Cover Cookbook

“The first impression means everything!” Demikian kalimat utama yang terpampang dalam salah satu website yang menawarkan jasa pembuatan sampul buku. Tulisan tersebut cukup menyiratkan pesan bahwa desain sampul buku itu sangat penting bagi keberadaan sebuah buku. Sedemikian pentingnya hingga menyadarkan para penerbit bahwa para pembeli buku kini tidak hanya sekadar tertarik pada isi buku yang dijajakan, namun juga pada visualisasi sampul. Bahkan, sering kali sampul buku diposisikan sebagai pintu utama bagi calon pembeli untuk melihat lebih lanjut sebuah buku.

Hawe Setiawan, editor Penerbit Pustaka Jaya, mengungkapkan bahwa tidak dapat dimungkiri sampul telah menjadi etalase bagi sebuah buku di hadapan pembaca. “Yang sangat terasa kalau sedang pameran, orang melihat buku sering kali sepintas saja, kalo tampilannya menarik, baru orang memutuskan mendekat dan membeli,” ujar Hawe.

Pengamatan terhadap perilaku konsumen dalam pembelian buku ini menarik untuk dikaji. Pasalnya, keberadaan sampul buku semenjak kemunculannya yang pertama kali-sejak dicetaknya kitab suci-masih berfungsi sebatas sebagai pelindung isi naskah yang telah disatukan. Kini, ketika buku telah menjadi salah satu komoditas, cara menyajikan pelindung isi naskah pun telah berubah, fungsi keindahan dan nilai bisnis dari sebuah sampul buku menjadi perhatian utama penerbit.

Di Indonesia sendiri, sampul buku mulai dikenal ketika masuknya buku-buku berjilid yang dibawa oleh orang Belanda. Tipografi di depan sampul masih sangat klasik dan konvensional dengan teknologi huruf timah. Namun, lambat laun ketika teknologi desain grafis semakin berkembang, para pembuat sampul buku menjadi lebih kreatif menghasilkan beragam kreasi sampul buku. Di awal tahun 1970-an, misalnya, teknologi offset sudah memungkinkan penggunanya untuk memindahkan gambar pada sampul buku, bahkan untuk mencetak sebuah karya perupa seperti yang sudah dipraktikkan oleh Penerbit Pustaka Jaya. Perkembangan demikian semakin mendorong nilai-nilai estetika sebuah buku bersama sampulnya.

Dalam teknologi percetakan dan desain grafis semakin terpacu oleh semakin ketatnya persaingan bisnis di dunia penerbitan buku. Dalam persaingan bisnis, para pelaku yang terlibat di dalamnya berlomba untuk memasarkan produknya agar konsumen berminat melihat dan membelinya. Kini, salah satu strategi bisnis dalam menjual buku adalah membuat tampilan fisiknya menarik, yaitu melalui desain sampul bukunya. Strategi ini diakui oleh beberapa penerbit hingga mereka merasa perlu mendesain sebuah sampul buku dengan baik.

Pengalaman Penerbit Kiblat, Bandung, menarik dipaparkan. Bagi penerbit ini, untuk meraih pasar yang bagus tidak cukup hanya dengan membangun jaringan distribusi yang baik, namun harus dibarengi dengan tampilan fisik yang menarik pula. Sebelumnya, penerbit, yang berfokus pada penerbitan buku-buku sastra Sunda, ini sempat mengalami kecemasan karena sastra Sunda kurang disukai khalayak. Dalam kecemasan, mereka mencoba strategi baru, yaitu mencetak buku-buku sastra Sunda dengan tampilan fisik yang menarik sebagaimana tren sampul buku yang terjadi saat ini. “Ternyata pasar antusias dengan buku-buku Kiblat,” ujar Rahmat Taufik. Kurun waktu dua tahun terakhir sudah 40 buku berbahasa Sunda yang mereka terbitkan dengan respons pembeli cukup baik.

Penggantian sampul buku juga diyakini oleh Dorothea Rosa Herliany tidak hanya meningkatkan penjualan, tetapi juga kesan masyarakat terhadap penerbit. Ia menuturkan, kumpulan cerpennya Perempuan Yang Menunggu awalnya diterbitkan hanya 2.000 eksemplar. Selama lima tahun lamanya Rossa tidak pernah mendengar kabar cetakan pertama bukunya tersebut, apakah habis terjual atau tidak. Akhirnya, Rossa memutuskan menerbitkan ulang bukunya di penerbitannya sendiri dengan membuat sampul sendiri yang jauh lebih menarik. Hasilnya sangat memuaskan, yaitu 1.500 eksemplar bukunya habis dalam waktu 6 bulan, bahkan mengalami cetak ulang. Meski tidak dilakukan penelitian khusus bahwa peningkatan penjualan disebabkan oleh sampul buku, tidak menutup kemungkinan sampul yang eye catching mampu memikat pembeli. Bahkan, secara tidak terduga sampul buku kumpulan cerpen tersebut justru menjadi brand image terhadap penerbitannya. “Sekarang, walaupun sudah ada kumpulan cerpen yang lain, orang tetap mengingat yang itu saja,” kata pemilik penerbitan Indonesiatera ini.

Indonesiatera

Cover terbitan Indonesiatera

Di mata Priyanto Sunarto, pengajar senior Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung, tuntutan akan tampilan sampul buku yang lebih baik, selain disebabkan oleh persaingan pasar dan perkembangan teknologi komputer, juga dapat dimungkinkan oleh pengalaman visual yang semakin baik dari masyarakat. Ia melihat masyarakat saat ini dapat membedakan desain sampul buku yang modern dan yang sudah ketinggalan zaman.

Dalam kondisi seperti itu, para penerbit semakin merasa perlu menciptakan imaji dengan membangun konsep pada tiap jenis terbitannya. Anas Syahrul Alimi, pimpinan Penerbit Jendela dan Pustaka Sufi, misalnya, sangat menyadari hal demikian. Dalam praktik penerbitan, Anas kerap menyertakan simbol Islam untuk terbitan Pustaka Sufi dan gaya klasik untuk Jendela. Ilustrasi buku-bukunya sering kali diambil dari buku-buku impor yang kemudian diberi credit title.

Pengalaman visual konsumen itu juga dirasakan oleh Anas dari hasil pengamatannya. Ia melihat pertama kali orang melihat buku dari sampul depan kemudian penulis dan sampul belakang. “Ada orang membeli buku bukan karena isi buku, tetapi karena sampulnya,” lanjut Anas. Apalagi bagi orang yang sangat apresiatif terhadap karya seni rupa, isi menjadi tidak penting lagi, tetapi visualisasi yang ditampilkan sampul buku.

Maraknya ragam desain sampul buku belakangan ini tidak lepas dari kehadiran para desainernya. Sampul buku yang menarik tentu memerlukan suatu kreativitas tersendiri dari para desainernya. Dalam menentukan tema desain, biasanya pihak penerbit ikut merencanakan tema yang akan dibuat, tetapi hasil akhir gambarnya diserahkan sepenuhnya pada ilustrator atau desainer. Ilustrator dan desainerlah yang harus dapat menghasilkan imajinasi ilustrasi yang sesuai dengan isi buku, di sinilah kerja keras dan kreativitas seorang desainer dibuktikan.

Di sisi lain, munculnya desain-desain buku dengan menggunakan hasil karya lukisan tidak kurang menimbulkan gairah baru. Di kalangan para perupa atau pelukis sendiri, sampul buku merupakan medium baru yang dapat memperluas pasar mereka. Artinya, peluang untuk mendapatkan uang akan lebih besar dibandingkan hanya mengandalkan pasar lukisan meskipun secara kuantitas jumlahnya tentu saja jauh lebih kecil dibandingkan dengan harga karya lukisnya. Sebagai gambaran, satu karya lukis untuk sampul buku rata-rata dihargai antara Rp 200.000-Rp 400.000. Jumlah ini dianggap sesuai karena ukuran gambar yang tidak besar sehingga membutuhkan waktu lebih sedikit dibandingkan dengan membuat lukisan dinding.

Namun, untuk beberapa nama-nama tenar yang selama ini sudah dikenal luas penilaian harga lebih dari jumlah tersebut. Meskipun demikian, patokan harga itu tidak berlaku secara umum. Ada juga penerbit yang karena kedekatannya dengan perupa atau pelukis, justru tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk pemakaian karya tersebut. Lukisan Joko Pekik adalah salah satu contohnya. “Dia sudah senang karyanya saya pakai selain karena saya juga mengoleksi lukisannya. Tetapi, itu Joko Pekik yang belum seperti sekarang, yang harga lukisannya sudah melangit,” papar Buldan dari Penerbit Bentang.

Menelisik Jejak Sampul Buku

Sampul buku tak dimungkiri adalah iklan untuk menarik pembeli sebelum teks di dalamnya dibaca. Namun demikian, sampul buku yang didesain sedemikian rupa menjadikan buku tidak sekadar sebagai informasi, melainkan sesuatu yang menunjukkan nilai hubungan antara si pembuat buku dan pembacanya. Pada awalnya sampul buku dikaitkan dengan fungsi penjilidan buku dan tidak memiliki elemen dekoratif. Sampul-sampul buku yang didesain khusus baru muncul pada abad 19 di Inggris. Salah satu buku yang menjadi pembicaraan pada masa itu di Inggris adalah The Yellow Book, an Illustrated Quarterly, Volume One, April 1894 dengan desainer Aubrey Beardsley dan Oscar Wilde.

The Yellow Book

The Yellow Book Volume 1

Setelah tahun 1900, sampul buku mulai dianggap sesuatu yang umum digunakan meskipun sebagian besar bentuknya hanya mengulang cetakan dari penjilidan buku. Ada beberapa buku yang juga menambahkan informasi di sampul belakang, tetapi hanya sedikit buku yang mencantumkan semacam ringkasan isi buku sebagai sebuah promosi. Gambar-gambar biasanya banyak digunakan untuk buku-buku tertentu, terutama buku cerita anak-anak.

Adanya persaingan yang cukup tinggi di dunia perdagangan buku pada masa menjelang perang dunia pertama, membuat beberapa penerbit merasakan perlunya buku digarap oleh desainer khusus, seperti halnya para perempuan memiliki penjahit khusus untuk desain baju-baju mereka. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa sampul buku akan mendongkrak nilai tambah buku. Sayangnya, perkembangan ini terpaksa berhenti selama perang dunia pertama dan pulih kembali setelah tahun 1920-an hingga 1930-an.

Selama periode ini, terjadi perkembangan periklanan dan studi mengenai penjualan. Tingginya angka penjualan pada barang-barang bermerek dan komoditas dengan kemasan khusus, memberi inspirasi pada para penerbit untuk membangun sebuah citra produk dan menciptakan berbagai genre buku yang mudah dikenali oleh para pembaca. Pada masa itu, citra visual juga mulai dikenal luas masyarakat setelah penemuan “gambar hidup” atau film. Akibatnya, para pembaca mulai terbiasa menikmati citra visual sebaik membaca teks tertulis.

Perjalanannya, perkembangan teknologi separasi warna turut mempengaruhi kualitas efek visual yang lebih tajam. Teknologi ini pun ikut menghidupkan kegiatan akademis sehingga para penerbit saat itu bisa berkolaborasi dengan akademisi di bidang seni desain. Situasi seperti ini dan ditambah dengan kondisi pasar yang lesu setelah depresi ekonomi pada gilirannya berpengaruh mengaburkan batas antara seni “komersial” dan seni “tinggi”.

Peluncuran buku-buku dari Penerbit Penguin Books mengubah sejarah penerbitan buku, khususnya di Inggris menjelang tahun 1940-an. Penerbit ini berhasil menciptakan citra produk melalui desain sederhana sampul buku-bukunya, termasuk penciptaan simbol penguin dan pemilihan jenis paperback yang membuat harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan buku-buku penerbit lain yang umumnya dicetak dengan hardback. Penguin juga membuat ciri khas warna untuk setiap jenis buku yang diterbitkannya: jingga untuk buku fiksi, biru gelap untuk biografi, hijau untuk buku tentang kriminalitas dan misteri.

Penguin Book

Cover Paperback Penguin Book Publisher

Era tahun 1960-an hingga tahun 1970-an terjadi lonjakan buku-buku paperback, mengikuti jejak penerbit Penguin. Masa ini, buku-buku terbitan Penguin tetap memakai karakter khas untuk setiap jenis buku, namun elemen visual dengan gambar-gambar menarik tampak lebih dominan dibandingkan dengan elemen visual huruf pada awal berdirinya Penguin. Penemuan teknologi pencetakan berwarna yang murah, airbrushing serta lettraset ikut mendorong perkembangan ini. Terlebih pemakaian komputer memungkinkan para desainer bereksplorasi tanpa batas.

Saat ini, teknologi kembali beraksi. Teknologi memungkinkan kehadiran buku-buku digital atau e-book. Namun, sekalipun kini mulai mengisi pasar, tidak otomatis membuat era buku-buku Guttenberg berakhir. Paling tidak belum saatnya.

Sumber: Kompas dan beberapa sumber lain.


AddThis Social Bookmark Button




Cover Buku, Galeri Para Perupa

11 09 2007

Ketika awal dimulainya era penjilidan kitab suci, fungsi sampul buku tidak lebih untuk melindungi isi naskah yang telah disatukan. Kini, ketika buku telah menjadi salah satu komoditas, cara menyajikan pelindung isi naskah pun telah berubah. Goresan kuas para pelukis banyak menghias sampul buku. Sampul buku tidak lagi sekadar pelindung, tetapi telah menjadi galeri bagi karya para pelukis ataupun perupa.

Buku berjudul Di Bawah Langit Tak Berbintang karya Utuy Tatang Sontani yang terbit di bawah bendera Pustaka Jaya dapat dijadikan contoh. Buku terbitan tahun 2001 ini dibungkus dengan sampul karya perupa yang aktif dalam kegiatan Jaringan Kerja Budaya (JKB), Alit Ambara. Bahkan, dipakainya karya-karya para seniman untuk sampul buku ini sudah dimulai oleh penerbit Pustaka Jaya sejak tahun 1971. Karya-karya pelukis seperti Nashar, Wakidjan, IP Ma’aruf, Nana Banna, atau Popo Iskandar turut menghias buku-buku sastra keluaran penerbit yang dikomandani Ayip Rosidi itu.

Alit Ambara

Alit Ambara

Kini Pustaka Jaya tidak sendirian. Jejak penerbit itu diikuti oleh penerbit Bentang Budaya yang juga pada beberapa buku keluaran penerbit Yogyakarta ini memanfaatkan karya-karya pelukis dan perupa seperti Joko Pekik, Dadang Kristanto, Agung Kurniawan, dan Jumaldi Alfi. Kerja sama penerbit dengan para perupa atau pelukis ini menjadikan buku tidak hanya sebagai sebuah karya intelektual, tetapi sekaligus juga karya seni.

Agung Leak

Agung Kurniawan-Leak

Kecenderungan memanfaatkan karya perupa atau pelukis untuk dijadikan sampul sebuah buku, di satu sisi merupakan sebuah kolaborasi kerja antara penerbit dan seniman dan menjadikan buku tersebut sebuah karya seni. Di sisi lain, para perupa atau pelukis mendapatkan medium untuk menggelar karya-karya mereka. Penciptaan medium baru ini memungkinkan para perupa tetap bebas berkreasi seperti halnya ketika menuangkan kreativitas melalui medium lukisan.

Ada dua proses yang biasanya berlangsung di dalam kolaborasi ini. Pertama, perupa sudah membuat lukisan sebelum para penerbit mengetahuinya. Ketika para penerbit mempunyai naskah yang isinya dianggap cocok untuk dicitrakan dengan karya si perupa, terjadilah kolaborasi itu. Seperti yang terjadi pada karya Alfi. Ia membuat sebuah lukisan yang menurut Buldan, dari penerbit Bentang, sangat liris dan naratif. Karya ini, menurut dia, sangat pas untuk dijadikan kover bagi buku karya Leo Tolstoy yang berjudul Kalender Kearifan, Pikiran Bijak Hari ke Hari.

“Ketika memilih dan membaca naskah Leo Tolstoy itu, saya langsung ingat karya Alfi ini. Saya merasa lukisan itu sangat tepat untuk dijadikan sampul buku ini. Lukisan itu saya potret, lalu di-scan, di-cropping sana-sini, sesuai kebutuhan desain,” papar Buldan.

Begitu pula ketika Bentang hendak menerbitkan buku Emha Ainun Nadjib berjudul Gerakan Punokawan. Sebelum naskah buku ini akan diterbitkan, Buldan sudah mempunyai koleksi lukisan Joko Pekik tentang punokawan. “Menurut saya, sampai saat ini belum ada pelukis yang mampu menggambarkan punokawan atau petani dengan begitu hidup seperti yang dilakukan Joko Pekik. Artinya, petani maupun punokawan dilukiskan tidak sekadar sebagai obyek eksotisme, tetapi mengekspresikan sesuatu,” jelas Buldan yang lulusan jurusan Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI).

Proses kedua, penerbit mempunyai naskah dan meminta perupa untuk membuatkan lukisan sesuai isi naskah. Dalam proses ini, perupa akan membaca naskah dan menginterpretasikan isi naskah. Berdasarkan interpretasi inilah ia menentukan gagasan utama yang hendak disampaikan naskah yang dituangkan lewat goresan kuasnya. Seperti yang dilakukan Alit Ambara ketika membuat lukisan untuk buku Di Bawah Langit Tak Berbintang.

“Saya membaca naskah, dan dari situ saya menangkap gagasan tentang penderitaan yang dialami para eksil, orang Indonesia yang dianggap kiri oleh rezim Orde Baru yang sedang berada di luar negeri pada saat peristiwa tahun 1965 terjadi, dan karena itu tidak dapat kembali ke Tanah Air. Karena konteks cerita itu adalah negeri Cina masa kekuasaan Mao Zedong, maka saya membuat lukisan siluet Mao dan orang- orang eksil yang dalam keadaan menderita,” tutur Alit Ambara, lulusan jurusan Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Pada proses kedua terjadi diskusi antara penerbit dan perupa meskipun perupa tetap bebas menentukan citra yang akan dilukisnya. “Prinsipnya, hasil diskusi itu bukan mutlak harus diikuti oleh perupa seperti halnya seorang ilustrator yang mengikuti apa yang diperintahkan. Ia hanya menjadi pedoman perupa atau pelukis untuk membuat citra lukisannya,” jelas Buldan.

Paparan ini disetujui pula oleh Alfi yang sudah menghasilkan sekitar 40-an karya lukis untuk sampul buku. “Lukisan yang saya hasilkan semuanya berkaitan dengan proses pencarian pribadi. Kuncinya adalah karya yang mau dihasilkan itu ada kedekatan tidak dengan apa yang sedang saya pikirkan. Seandainya ada, berarti saya dengan mudah mengerjakannya. Tetapi, kalau tidak ada kedekatan dan saya paksakan untuk berkarya, hasilnya hanya berupa goresan tanpa jiwa. Kalau terjadi demikian, terpaksa saya katakan kepada penerbit bahwa saya tidak bisa meneruskan membuat lukisan untuk sampul buku tersebut,” tutur Alfi.

Saat ini juga terdapat kecenderungan bahwa jenis buku yang memanfaatkan karya para perupa atau pelukis untuk sampulnya adalah buku-buku sastra, seni, dan filsafat. Hampir tak ada buku-buku jenis How To, seperti buku-buku psikologi, manajemen, ataupun komputer, yang memajang karya para perupa. Hal ini diakui pula oleh penerbit Bentang. “Ada jenis-jenis buku yang mungkin justru menjadi tidak bagus kalau diberikan ilustrasi para perupa. Buku manajemen atau komputer, misalnya, cukup ditutupi oleh karya seorang desainer dengan penguasaan aspek-aspek visual tertentu,” jelas Buldan.

Jumaldi Alfi

Jumaldi Alfi

Kecenderungan ini, menurut Sumbo Tinarbuko-seorang pengamat desain dan pengajar di jurusan Desain Komunikasi Visual ISI-berkaitan dengan upaya mendongkrak oplah jenis-jenis buku yang terbilang nonpraktis. “Pembaca buku- buku sastra, filsafat, sosial politik, kan, terbatas jumlahnya. Ini sangat berbeda dengan buku-buku seperti marketing atau komputer yang biasanya cukup laris. Oleh karena itu, buku-buku jenis sastra tadi perlu dibantu dengan sampul yang menarik,” tutur Tinarbuko.

Fenomena sampul buku memakai karya perupa ini, menurut Sumbo Tinarbuko, merupakan pengemasan cara saji buku ataupun ekspresi seni yang bervariasi. “Analoginya adalah ada mi yang disajikan dengan cara dibungkus dan ada yang dimakan di tempat dengan piring atau mangkok,” paparnya.

Variasi tersebut tak bisa dimungkiri, menurut Sumbo, karena itu adalah hasil kedekatan dan kreativitas para penerbit yang secara jeli mampu menangkap media ekspresi seni rupa alternatif selain yang selama ini sudah dikenal. Hal ini juga bisa kita lihat kecenderungan cerpen-cerpen di surat kabar yang mulai menggunakan ilustrasi dari karya para pelukis atau perupa.

“Meskipun ini adalah hasil rekayasa kawan-kawan pers, hal itu jelas memperkaya dunia seni rupa kita dan memberi tantangan baru bagi para desainer komunikasi visual untuk terbuka terhadap berbagai macam material,” tandas pengajar yang juga menjadi konsultan desain komunikasi visual itu.

Yang Mendobrak Selera Pasar

Pembaca kini dapat menikmati seni rupa dalam sampul buku dengan berbagai gaya lukisan dan desain warna yang sangat memikat. Gambar demikian menarik lantaran merupakan gabungan dari dua disiplin ilmu yang sebenarnya terpisah, yaitu seni rupa dan desain grafis. Desain sampul yang demikian seakan sudah menjadi genre baru dalam dunia sampul buku negeri ini. Kreasi demikian tidak lepas dari sosok Harry Wahyu, atau lebih dikenal dengan si “Ong”. Pria kelahiran Madiun, 22 Desember 1958, ini sempat mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, jurusan Grafic Art, dan mempelajari seni murni tahun 1980.

Bersama rekan-rekannya dari jurusan Arsitektur UGM, Yogyakarta, Ong mendirikan kelompok Salahuddin Press tahun 1983 yang salah satu kegiatannya siap sedia menerima permintaan penerbit untuk membuat ilustrasi sampul buku. Semula usahanya itu dilakukan guna mencari tambahan biaya. Namun, ternyata profesinya ini menjadi mata pencaharian.

Ketertarikannya pada sampul buku lahir setelah dia mengamati sampul kaset kelompok musik Yes asal Inggris yang tidak menampilkan personel group bandnya, tetapi ilustrasi. Sangat berbeda dengan desain sampul kaset Indonesia yang selalu didominasi oleh sosok sang artis. Ternyata, bahasa visual dapat memberi inspirasi dan menciptakan kesan dari yang melihatnya. “Sang tokoh tidak perlu ada, tetapi justru menampilkan kesan yang lebih hebat bagi penggemarnya,” lanjut Ong.

Melihat persoalan baginya tidak harus selalu mengikuti mainstream yang berlaku. Inilah yang dilakukan Ong dalam setiap pengamatannya sekaligus dalam berkarya. Ketika dia diminta membuat ilustrasi sampul buku, misalnya, Ong tidak peduli dengan kaidah-kaidah yang sudah mapan saat itu. Namun, dia berkarya untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik dengan menggunakan segala pengetahuan yang dimilikinya. “Saya enggak mau ngikutin pasar, biar pasar yang ikut kita aja. Kalo kita selalu ngikutin selera pasar, kan, enggak akan berkembang, enggak pinter-pinter nanti pasarnya,” ungkapnya.

Prinsip ini dibuktikan ketika dia membuat ilustrasi sampul buku yang berkaitan dengan agama Islam. Ong tidak membuat ilustrasi dengan mengambil nuansa Timur Tengah, tetapi gambar orang bersepeda yang berhenti di bawah pohon kelapa untuk melaksanakan shalat. Mendesain sampul buku baginya merupakan sesuatu pekerjaan yang sangat menyenangkan dan berlaku sangat universal. Hingga kini lebih kurang sudah 500 desain sampul buku yang dibuatnya.

Cover-Cover

Cover Karya Alit Ambara dan Rully Susanto

Jika Ong lebih banyak berkiprah di Yogyakarta, di Jakarta nama Rully Susanto cukup dikenal sebagai pendesain sampul buku yang berkarakter. Rully bergabung di Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Ia mengaku secara tidak sengaja berkecimpung dalam dunia perbukuan. Menurut dia, sebagian besar lulusan sekolah desain sebenarnya lebih banyak memilih bekerja di bidang advertising yang dianggap memiliki gengsi tinggi. Setelah bidang advertising, lulusan sekolah desain lebih suka memilih sebagai tenaga desain grafis yang khusus memproduksi logo, profil perusahaan, dan sejenisnya. “Jadi, posisi desain grafis di penerbitan itu kurang gengsinya, mungkin ujung-ujungnya kepada penghargaan yang diterima,” ungkap Rully.

Namun, ia punya pertimbangan sendiri yang mengarahkan langkahnya memasuki dunia perbukuan. Menurut Rully, menjadi desainer buku harus mampu menguasai beberapa persoalan teknis yang saling terkait, yaitu penguasaan tipografi, kualitas ilustrasi, kualitas foto, dan komposisi. Dengan penguasaan itulah, seorang desainer buku mampu berkiprah.

Sumber: Kompas dan beberapa sumber lain.


AddThis Social Bookmark Button




Seni dan Nilai Karya

22 08 2007

Setiap karya seni yang baik seharusnya mendukung dua asas atau nilai utama dalam kekaryaan yaitu nilai intrinsik dan ekstrinsik. Apabila berbicara seni, pokok utama pembicaraan yang membedakan karya seni dengan bidang-bidang lain seperti filsafat, ilmu pengetahuan (terkandung di dalamnya bidang sains, teknologi, ekonomi, komunikasi, kedokteran dan lain-lain) dan agama adalah dengan melihat nilai yang terkandung di dalamnya.

Persoalan nilai akan membedakan seni dengan filsafat juga ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan seperti bidang sains dan teknologi misalnya tidak berbicara tentang nilai. Bidang ini berbicara tentang praktika dari suatu konsep dan aplikasinya, berbicara tentang aspek kegunaan dan fisikal. Filsafat juga tidak dapat berbicara tentang nilai karena filsafat adalah upaya manusia untuk mengenal sesuatu. Filsafat hanya berupaya mengenal nilai tetapi tidak membuat pilihan.

Nilai intrinsik adalah nilai yang menyangkut aspek-aspek formalistik, ikonografi dan fisikal. Mengapakah seni enak di pandang mata, mengapakah musik itu sedap didengar telinga, mengapakah drama itu membuat menetes airmata, mengapakah gerakan di dalam suatu seni tari menggugah perasaan; pendeknya nilai yang terkandung dalam aspek-aspek fisikal yang terlihat, dapat didengar, dapat ditonton oleh indera fisikal adalah nilai-nilai intrinsik.

Nilai-nilai ekstrinsik berkenaan aspek kejiwaan, filsafat atau psikologi, yaitu nilai-nilai yang tidak dapat dinilai oleh panca indera, serba noumena, transendental. Nilai ekstrinsik hanya bisa dirasai oleh jiwa, intuisi dan naluri dengan pendekatan ilmu, filsafat, kebudayaan dan sisi pribadi individu. Maka dapat dikatakan, jika dua nilai ini bergabung dapat membuahkan hasil yang baik dalam sebuah karya seni.

Namun terkadang dalam sebuah karya seni, dua nilai ini tidak sekaligus ada didalamnya. Sering terjadi nilai entrinsik dikesampingkan dan tidak jarang pula nilai intrinsik dihilangkan. Itulah sebabnya, terkadang sebuah karya seni tidak dapat bertahan lama. Contohnya adalah kartun atau komik yang mempunyai nilai-nilai intrinsik namun tidak punya atau kurang memiliki nilai ekstrinsik (perlu difahami kebanyakan kartun dan komik adalah yang berbentuk popular). Maka seni ini akan mati dan tidak akan dibicarakan lagi oleh masyarakat jika telah lewat dari jamannya. Namun ada beberapa karya-karya kartun Drs. Suyadi alias Pak Raden misalnya, tetap hidup dan diberi perhatian istimewa karena kekayaan nilai-nilai ekstrinsik didalamnya.

Si Unyil 1 Si Unyil 2 Si Unyil 3

Kartun Si Unyil

Karya-karya seni, baik yang adiluhung ataupun kontemporer pun bisa mati jika masyarakat teramat lemah pengetahuan dalam kesenian. Karya seni yang baik seperti seni rupa, sastera, pertunjukan dan sebagainya yang kaya dengan nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik dapat hilang disebabkan masyarakat tidak berupaya menyelami aspek-aspek kejiwaan, filsafat, moral dan budaya yang terkandung di dalam karya seni tersebut. Bermacam sebab mengapa hal ini terjadi, diantaranya adalah kurangnya kajian kritik dan apresiasi seni di media-media massa, pendidikan yang kurang menekankan seni sebagai aspek keilmuan, kurangnya penelitian dan buku-buku tentang seni, penonjolan besar-besaran terhadap seni hiburan yang memaparkan ‘artis-artis’ yang sebenarnya bukan seniman sehingga menimbulkan kekeliruan dalam masyarakat dalam memandang seni itu sendiri.

Pendeknya seniman yang layak dipanggil ’seniman’ (tidak hanya perupa, desainer, penulis, arsitek, sastrawan, penyair, atau sutradara saja) adalah orang yang berupaya memahami permasalahan masyarakatnya dan harus senantiasa memperbaharui keilmuannya. Sehingga dapat dibedakan mana ’seniman’ dan bukan dan juga seharusnya seniman menjadi contoh masyarakat dan pemikir yang berkarya bukan sekadar melukiskan keindahan dan berujung pada uang! Seniman tulen adalah mereka yang berupaya menafsir dan mengurai bukan sekadar menterjemah.


AddThis Social Bookmark Button




Advertising to children

21 08 2007

Pertanyaan besarnya adalah: Advertising untuk anak-anak, benar atau salahkah? Bagi anak-anak, kemasan pembungkus McDonald’s adalah segalanya. The Chicago Sun Times baru-baru ini meliput, Are your kids McDonald’s brainwashed?

Sebuah artikel yang ditulis dengan mengikuti riset dari seorang guru besar pedriatic di Standford University, DR Tom N. Robinson. Studinya dilakukan dengan melibatkan 63 anak-anak usia 3-5 tahun dan selera makan mereka terhadap makanan produksi McDonald’s.

Pada setiap makanan buatan McDonald’s tersebut dibungkus dengan kemasan yang memiliki brand McDonald’s dan kemasan biasa tanpa brand McDonald’s. Percayakah anda, setiap kali anak-anak itu memakan makanan yang menggunakan bungkus kemasan tanpa brand McDonald’s, mereka selalu kehilangan selera.

McDonald’s Adv.


AddThis Social Bookmark Button




Robot Kayu Mainan

15 08 2007

Fujin Rajin

Kazuki Tsutom

Lihatlah diatas! Itu adalah Fujin Rajin dan Kazuki Tsutom, dua boneka kayu yang lucu buatan Jepang. Orang Jepang membuatnya dari limbah kayu yang di reka rupa dengan style anime dan mengikuti kemauan pasar boneka-boneka itu di desain menjadi mainan edukatif yang bisa di bongkar pasang seperti lego. Limbah kayu ya? Bukankah di Indonesia jumlahnya berjuta-juta kubik? Kok ga ada yang bisa jadi mainan sebagus dan se-edukatif ini. Orang Indonesia saat ini malah lebih suka mainan plastik buatan China, yang dapat dibeli dengan uang Rp.10.000 dapat tiga mainan. Memang murah sih, tapi taukah anda bahaya mainan plastik buatan China ini?

Dari 75% pangsa pasar mainan dunia, maka nilai ekspor mainan China adalah USD 55 Milyar (data tahun 2000) x 75% =USD 41,25 Milyar. Industri kreatif berbasis Mainan memang menjadi penyumbang ekonomi China yang cukup potensial, bayangkan ada 8000 pabrik menggantungkan nasibnya pada industri ini. Faktor ancaman dalam skala ekonomi adalah: jika ada 8000 pabrik yang membuat mainan setiap hari di China, bayangkan berapa Cost Effectivenya industri manufakturing dari Volume Produksi mainan disana. Satu mainan bisa diproduksi jutaan unit sekali jalan. Ya jelas bisa murah!

Faktor ancaman dalam kesehatan adalah: Anda tahu SCRAP? Scrap adalah limbah atau sisa-sisa, termasuk didalamnya sisa-sisa plastik. Sisa-sisa plastik diolah ulang oleh industri mainan di China dengan di recycle secara kimiawi menggunakan logam berat seperti timbal, diberi penguat semacam formalin dan diwarnai dengan zat pewarna yang tidak layak untuk kesehatan, lalu dikemas dengan kemasan yang berasal dari plastik daur ulang juga, lalu diekspor secara besar-besaran keseluruh dunia dan akhirnya menjadi mainan murah yang beredar di Indonesia. Bagaimana tidak murah harganya kalau diproduksi dengan konsep produksi seperti ini? Apalagi kalau masuknya ke Indonesia dengan cara diselundupkan.

Data John Howkins, 2001 dan dari sumber lain.

Tidak ada komentar: